Areal Tambak Udang Pucanglaban |
Izin Habis Tapi Masih Beroperasi, Ada Apa Hayo?
Utusan Tulungagung - Status areal tambak udang yang
terbentang luas di sepanjang pesisir Pantai Molang, Tulungagung,kini semakin
dilema. Tambak dengan luasan lebih dari 37 hektare yang dikelola PT Lima Satu
Lapan (LSL) itu terganjal peraturan Menteri Kehutanan yang melarang
perpanjangan kontrak. Sementara, kontrak yang dilakukan PT LSL telah habis pada
2012 lalu. Anehnya, meskipun kontrak telah habis, kegiatan budidaya Udang masih
saja berlangsung hingga berita ini dimuat. Realita ini mengindikasikan adanya
kong-kalikong para pihak dalam usaha tersebut.
Bukti kongkrit adanya kong-kalikong dalam kerjasama budidaya udang
di tanah Perhutani ini memang belum ditemukan. Hanya logika sederhananya, jika
kontrak telah habis, kegiatan budidaya udang harusnya juga berhenti. Jika
tidak, dapat dikatakan budidaya yang dilakukan PT. LSL adalah kegiatan illegal.
Anehnya lagi, mengetahui adanya kegiatan illegal di kawasan
tersebut, pihak-pihak terkait termasuk Perum Perhutani KPH Blitar, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar, dan DPRD Tulungagung seakan diam seribu
bahasa. Padahal seharusnya mereka berhak melakukan tuntutan terhadap PT LSL.
Belum diketahui secara pasti mengapa Perhutani dan DPRD tak
melakukan penuntutan dantetap membiarkan kegiatan budidaya udang yang
seharusnya telah berhenti sejak tahun 2012 lalu. Namun yang pasti, keterdiaman
para pihak ini memunculkan dugaan adanya kong-kalikong
didalamnya.
Sebagaimana yang diberitakan oleh harian nasional tahun 2014
silam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar sempat mengungkit
masalah legalitas PT LSL dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) diareal
tambak. Saat itu dewan menuding pengubahan kawasan hutan lindung bisa
berpengaruh langsung pada masyarakat setempat. Setidaknya, alih fungsi tersebut
menabrak prinsip program Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH).Namun selepas
sidak dilakukan tidak diketahui pasti bagaimana keberlanjutan masalah ini.
"Pengalihan fungsi hutan lindung tersebut berlangsung sejak
tahun 2006. Selain itu, kontraknya pun habis di tahun 2012. Kami pastikan ini
ilegal, karena hingga kini adminstrasinya masih dalam proses," ujar Ketua
Komisi II DPRD Kabupaten Blitar M Ansori saat itu.
Sebelumnya diketahui, kawasan tambak yang terletak di Desa
Plandirejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, dan Desa Pucanglaban, Kecamatan
Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung inikonon dulunya adalah kawasan hutan
lindung dengan vegetasi tanaman cukup lebat. Sedangkan saat ini, lahan hutan
sudah berubah menjadi hutan produksi danberalih fungsi menjadi tambak udang
yang dikelola oleh PT LSL.
Tidak tanggung-tanggung, volume produksi tambak udang Pucanglaban
yang dikelola PT Lima Satu Lapan di kawasan Pantai Molang ini konon mencapai
ribuan ton dengan omzet ratusan miliar rupiah per tahun. Udang yang dibudidaya
berjenis vannamai dan udang putih.
Volume udang yang dihasilkan di areal tambak ini mencapai 80-120
ekor per meter persegi dengan bobot rata-rata udang usia panen sekitar 0,3
kilogram. Bisa dibayangkan jika areal hutan lindung yang telah disulap menjadi
bentangan tambak udang dengan luasan petak masing-masing sekitar 50 meter
persegi x 42 kolam, maka dalam sekali musim panen volume produksi hewan asli
perairan Pasifik Barat Amerika Latin dan mulai dikenalkan pertama kali tahun
1970 di Tahiti tersebut ditaksir bisa mencapai 60 ribu kilogram atau sekitar 60
ton.
Sementara harga udang vannamei yang dibudi daya PT LSL untuk
memenuhi kebutuhan ekspor tersebut berfluktuasi di kisaran Rp60 ribu – Rp100
ribu per kilogram. Sehingga jika ditaksir secara kasar, omzet produksi sekali
panen bisa mencapai sekitar Rp36 – Rp60 miliar per panen. Dalam setahun, jika
cuaca mendukung, PT Lima Satu Lapan bisa memanennya tiga kali.
Melihat omzet PT LSL yang begitu besar, seharusnya Perhutani juga
mendapatkan keuntungan yang besar pula. Hanya sayangnya, Perhutani lebih
memilih kontrak sewa lahan seharga Rp 265 juta per tahun. Nilai yang terlalu kecil jika dibandingkan
omzet miliaran rupiah per tahun.
Saat dimintai keterangan mengenai hal tersebut, Heri Purwanto
selaku Kepala Urusan Hukum Agraria (HUGRA) mengatakan, bagi Perhutani
keuntungan besar bukanlah tujuan utama dalam kerjasama ini. “Kami menyetujui proposal kerja sama yang diajukan PT LSL
dalam hal budidaya ikan (udang) dengan tujuan menekan intensitas gangguan
keamanan hutan (gukamhut). Kesepakatan itulah yang kemudian dituangkan dalam
bentuk perjanjian kerjasama antara Perum Perhutani dengan investor melalui pola
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM),” terang Heri Purwanto.
Karena pola kerjasamanya menggunakan pola PHBM, lanjut Heri,
Perhutani melibatkan dua lembaga
masyarakat desa hutan (LMDH) yang sudah terbentuk dan mewadahi para petani
pesanggem di kawasan pesisir Pantai Molang, Desa Pucanglaban, yakni LMDH Wono
Rejeki dan LMDH Sido Rukun. Namun ironisnya, di lapangan pihak LMDH tidak
mendapat keuntungan yang seimbang dari sistem kerjasama tersebut. Sebagaimana
pengakuan Ketua LMDH Wono Rejeki
Slamet, secara organisasi lembaganya hanya mendapat uang rata-rata Rp1
juta hingga Rp 2 juta per panenan. Dalam beberapa kesempatan, LMDH bahkan hanya
mendapatkan Rp 800 ribu sekali panen. Bagi hasil atau lebih tepatnya kompensasi
yang diberikan PT LSL itu dinilai tidak sepadan dibanding komitmen kerja sama
yang menggunakan pola PHBM.
“Memang tidak ada
kesepakatan jumlah persenan antara LMDH dan pihak tambak (PT LSL). Hanya saja
saat itu Pak Bram (Site Manager PT LSL di Pantai Molang) bilang, nanti lihat
hasil panennya saja. Yang jelas ada bagian untuk LMDH,” tutur Slamet selaku
ketua LMDH Desa Pucanglaban.
Benar saja, setelah kerja sama mulai
berjalan sejak 2003 dan terus berkembang hingga sekarang, LMDH hanya menerima
“tetesan manis” usaha budidaya udang tersebut. Tidak hanya dari segi bagi hasil
yang sangat kecil, tenaga kerja dari kelompok LMDH yang terserap di wilayah
produksi tambak udang itupun tergolong minim. Dari total warga Desa Pucanglaban
yang mencapai 5.000-an orang lebih, hanya seratusan warga lokal yang dilibatkan
dalam sektor produksi perikanan berkualitas ekspor tersebut. “Seratusan lebih yang ikut bekerja di tambak itu, tidak sampai 200 jiwa,”
ujar Slamet.
Kenyataan ini memang menyedihkan. Kerja sama dengan prinsip
pemberdayaan dan penguatan ekonomi warga sekitar hutan seperti dimainkan
sejumlah pihak. Sampai-sampai ketika PT LSL terang-terangan melanggar hukum,
pihak terkait seolah diam dan tutup mata.
Pelanggaran PT Lima Satu Lapan
(LSL) dan Beberapa Perusahaan Tambak Udang Di Tulungagung
Selama melakukan usaha budidaya udang di kawasan hutan lindung
pesisir Molang, PT LSL diduga melakukan sejumlah pelanggaran komitmen. Di
antaranya pelanggaran tidak adanya izin usaha dan pendirian bangunan di Badan
Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Tulungagung dan pelanggaran kesepakatan
untuk tidak merubah bentang alam di lahan yang dikerjasamakan Perhutani.
Seperti yang dikatakan Agung, Kepala Bagian Informasi BPPT
Tulungagung saat wawancara dengan wartawan Utusan.Dalam
data BPPT tidak ditemukan adanya izin usaha tambak udang di wilayah
Tulungagung. “Setelah dicari, dalam data kami tidak ditemukan adanya izin usaha
tambak udang di wilayah Tulungagung,” ujarnya.
Keterangan Agus mengartikan, ternyata di Tulungagung tidak hanya
PT LSL saja yang tidak memiliki izin usaha tambak udang, namun juga perusahaan
yang mengelola tambak udang di areal Pantai Bayem. Keduanya masih memasuki
wilayah Tulungagung. Hanya bedanya, tambak yang dikelola PT LSL berada
dikawasan Perum Perhutani KPH Blitar, sedangkan tambak udang di pesisir Pantai
Bayem masuk ke wilayah Perum Perhutani KPH Kediri.
Meski keduanya berada di kawasan berbeda, namun pada prinsipnya
menjalin kerjasama dengan perhutani memiliki konskuensi sama. Sama-sama harus
mentaati peraturan yang diberlakukan negara dan Kementerian Kehutanan. Selain
tidak diperbolehkan lagi memperpanjang kontrak dan harus mendapatkan izin dari
BPPT terkait, perusahaan juga tidak
diperbolehkan merubah bentang alam dalam penggunaan lokasinya.“Dalam pemanfaatan itu tidak boleh mengubah
bentang alam dalam penggunaan lokasinya,”kata Heri Purwanto.
Namun peraturan tinggalah peraturan.Faktanya, sebagaimana temuan
di lapangan,baik tambak dipesisir Pantai Molang atau Pantai Bayem, hampir semua
areal tambak menjadi lahan terbuka. Nyaris tak ada lagi tegakan atau vegetasi
tanaman yang berdiri. Kalaupun ada, jumlahnya hanya beberapa batang dengan
jarak yang jauh.
Indikasi pelanggaran aturan bentang alam yang digariskan Perhutani
juga tampak pada pengelolaan tata ruang areal tambak dengan posisi kolam yang
terlalu rapat atau saling berhimpit. Pematang yang menjadi pembatas antarkolam
atau disebut dengan istilah silvoviseri
sesuai ketentuan harus dibuat dengan jarak kerapatan standar 5 meter. Namun
faktanya, jarak antarkolam yang dibuat PT LSL dan pengusaha tambak di pesisir
Pantai Bayem hanya sekitar 2-3 meter saja.
Menanggapi hal ini, pihak Perhutani KPH Blitar mengatakan, pertimbangan pasti tentang adanya toleransi
pada awal pembuatan kolam yang paling tahu adalah pimpinan waktu itu. Sedangkan
saat ini, sebetulnya sudah ada upaya persuasif ke arah sana. “Tapi mungkin
pertimbangan-pertimbangan dari pihak pengelola bahwa udang butuh sinar matahari
yang full (penuh), terpaksa memaksa kami untuk memberikan toleransi kepada
mereka,” ujar Heri memperjelas.
Sementara itu pihak PT Lima Satu Lapan dan pengelola tambak di pesisir Pantai Bayem belum memberikan konfirmasi resmi terkait usaha budidaya udangyang mereka kelola. Tim Utusan sudah berupaya mengkonfirmasi melalui layanan pesan pendek (sms), namun hingga berita ini dimuat belum ada tanggapan terkait hal tersebut. (IeL)
Sementara itu pihak PT Lima Satu Lapan dan pengelola tambak di pesisir Pantai Bayem belum memberikan konfirmasi resmi terkait usaha budidaya udangyang mereka kelola. Tim Utusan sudah berupaya mengkonfirmasi melalui layanan pesan pendek (sms), namun hingga berita ini dimuat belum ada tanggapan terkait hal tersebut. (IeL)