Berita Utusan

Advertise

Kong-Kalikong Budidaya Udang Pucanglaban

Diposting oleh On Desember 31, 2016

Areal Tambak Udang Pucanglaban
Izin Habis Tapi Masih Beroperasi, Ada Apa Hayo?
Utusan Tulungagung - Status areal tambak udang yang terbentang luas di sepanjang pesisir Pantai Molang, Tulungagung,kini semakin dilema. Tambak dengan luasan lebih dari 37 hektare yang dikelola PT Lima Satu Lapan (LSL) itu terganjal peraturan Menteri Kehutanan yang melarang perpanjangan kontrak. Sementara, kontrak yang dilakukan PT LSL telah habis pada 2012 lalu. Anehnya, meskipun kontrak telah habis, kegiatan budidaya Udang masih saja berlangsung hingga berita ini dimuat. Realita ini mengindikasikan adanya kong-kalikong para pihak dalam usaha tersebut.

Bukti kongkrit adanya kong-kalikong dalam kerjasama budidaya udang di tanah Perhutani ini memang belum ditemukan. Hanya logika sederhananya, jika kontrak telah habis, kegiatan budidaya udang harusnya juga berhenti. Jika tidak, dapat dikatakan budidaya yang dilakukan PT. LSL adalah kegiatan illegal.

Anehnya lagi, mengetahui adanya kegiatan illegal di kawasan tersebut, pihak-pihak terkait termasuk Perum Perhutani KPH Blitar, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar, dan DPRD Tulungagung seakan diam seribu bahasa. Padahal seharusnya mereka berhak melakukan tuntutan terhadap PT LSL.

Belum diketahui secara pasti mengapa Perhutani dan DPRD tak melakukan penuntutan dantetap membiarkan kegiatan budidaya udang yang seharusnya telah berhenti sejak tahun 2012 lalu. Namun yang pasti, keterdiaman para pihak ini memunculkan dugaan adanya kong-kalikong didalamnya.

Sebagaimana yang diberitakan oleh harian nasional tahun 2014 silam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar sempat mengungkit masalah legalitas PT LSL dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) diareal tambak. Saat itu dewan menuding pengubahan kawasan hutan lindung bisa berpengaruh langsung pada masyarakat setempat. Setidaknya, alih fungsi tersebut menabrak prinsip program Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH).Namun selepas sidak dilakukan tidak diketahui pasti bagaimana keberlanjutan masalah ini.

"Pengalihan fungsi hutan lindung tersebut berlangsung sejak tahun 2006. Selain itu, kontraknya pun habis di tahun 2012. Kami pastikan ini ilegal, karena hingga kini adminstrasinya masih dalam proses," ujar Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Blitar M Ansori saat itu.

Sebelumnya diketahui, kawasan tambak yang terletak di Desa Plandirejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, dan Desa Pucanglaban, Kecamatan Pucanglaban, Kabupaten Tulungagung inikonon dulunya adalah kawasan hutan lindung dengan vegetasi tanaman cukup lebat. Sedangkan saat ini, lahan hutan sudah berubah menjadi hutan produksi danberalih fungsi menjadi tambak udang yang dikelola oleh PT LSL.

Tidak tanggung-tanggung, volume produksi tambak udang Pucanglaban yang dikelola PT Lima Satu Lapan di kawasan Pantai Molang ini konon mencapai ribuan ton dengan omzet ratusan miliar rupiah per tahun. Udang yang dibudidaya berjenis vannamai dan udang putih.

Volume udang yang dihasilkan di areal tambak ini mencapai 80-120 ekor per meter persegi dengan bobot rata-rata udang usia panen sekitar 0,3 kilogram. Bisa dibayangkan jika areal hutan lindung yang telah disulap menjadi bentangan tambak udang dengan luasan petak masing-masing sekitar 50 meter persegi x 42 kolam, maka dalam sekali musim panen volume produksi hewan asli perairan Pasifik Barat Amerika Latin dan mulai dikenalkan pertama kali tahun 1970 di Tahiti tersebut ditaksir bisa mencapai 60 ribu kilogram atau sekitar 60 ton.

Sementara harga udang vannamei yang dibudi daya PT LSL untuk memenuhi kebutuhan ekspor tersebut berfluktuasi di kisaran Rp60 ribu – Rp100 ribu per kilogram. Sehingga jika ditaksir secara kasar, omzet produksi sekali panen bisa mencapai sekitar Rp36 – Rp60 miliar per panen. Dalam setahun, jika cuaca mendukung, PT Lima Satu Lapan bisa memanennya tiga kali.

Melihat omzet PT LSL yang begitu besar, seharusnya Perhutani juga mendapatkan keuntungan yang besar pula. Hanya sayangnya, Perhutani lebih memilih kontrak sewa lahan seharga Rp 265 juta per tahun.  Nilai yang terlalu kecil jika dibandingkan omzet miliaran rupiah per tahun.

Saat dimintai keterangan mengenai hal tersebut, Heri Purwanto selaku Kepala Urusan Hukum Agraria (HUGRA) mengatakan, bagi Perhutani keuntungan besar bukanlah tujuan utama dalam kerjasama ini. “Kami menyetujui proposal kerja sama yang diajukan PT LSL dalam hal budidaya ikan (udang) dengan tujuan menekan intensitas gangguan keamanan hutan (gukamhut). Kesepakatan itulah yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama antara Perum Perhutani dengan investor melalui pola pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), terang Heri Purwanto.

Karena pola kerjasamanya menggunakan pola PHBM, lanjut Heri, Perhutani melibatkan  dua lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) yang sudah terbentuk dan mewadahi para petani pesanggem di kawasan pesisir Pantai Molang, Desa Pucanglaban, yakni LMDH Wono Rejeki dan LMDH Sido Rukun. Namun ironisnya, di lapangan pihak LMDH tidak mendapat keuntungan yang seimbang dari sistem kerjasama tersebut. Sebagaimana pengakuan Ketua LMDH Wono Rejeki Slamet, secara organisasi lembaganya hanya mendapat uang rata-rata Rp1 juta hingga Rp 2 juta per panenan. Dalam beberapa kesempatan, LMDH bahkan hanya mendapatkan Rp 800 ribu sekali panen. Bagi hasil atau lebih tepatnya kompensasi yang diberikan PT LSL itu dinilai tidak sepadan dibanding komitmen kerja sama yang menggunakan pola PHBM.

“Memang tidak ada kesepakatan jumlah persenan antara LMDH dan pihak tambak (PT LSL). Hanya saja saat itu Pak Bram (Site Manager PT LSL di Pantai Molang) bilang, nanti lihat hasil panennya saja. Yang jelas ada bagian untuk LMDH,” tutur Slamet selaku ketua LMDH Desa Pucanglaban.

Benar saja, setelah kerja sama mulai berjalan sejak 2003 dan terus berkembang hingga sekarang, LMDH hanya menerima “tetesan manis” usaha budidaya udang tersebut. Tidak hanya dari segi bagi hasil yang sangat kecil, tenaga kerja dari kelompok LMDH yang terserap di wilayah produksi tambak udang itupun tergolong minim. Dari total warga Desa Pucanglaban yang mencapai 5.000-an orang lebih, hanya seratusan warga lokal yang dilibatkan dalam sektor produksi perikanan berkualitas ekspor tersebut. “Seratusan lebih yang ikut bekerja di tambak itu, tidak sampai 200 jiwa,” ujar Slamet.

Kenyataan ini memang menyedihkan. Kerja sama dengan prinsip pemberdayaan dan penguatan ekonomi warga sekitar hutan seperti dimainkan sejumlah pihak. Sampai-sampai ketika PT LSL terang-terangan melanggar hukum, pihak terkait seolah diam dan tutup mata.

Pelanggaran PT Lima Satu Lapan (LSL) dan Beberapa Perusahaan Tambak Udang Di Tulungagung

Selama melakukan usaha budidaya udang di kawasan hutan lindung pesisir Molang, PT LSL diduga melakukan sejumlah pelanggaran komitmen. Di antaranya pelanggaran tidak adanya izin usaha dan pendirian bangunan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT) Tulungagung dan pelanggaran kesepakatan untuk tidak merubah bentang alam di lahan yang dikerjasamakan Perhutani.

Seperti yang dikatakan Agung, Kepala Bagian Informasi BPPT Tulungagung saat wawancara dengan wartawan Utusan.Dalam data BPPT tidak ditemukan adanya izin usaha tambak udang di wilayah Tulungagung. “Setelah dicari, dalam data kami tidak ditemukan adanya izin usaha tambak udang di wilayah Tulungagung,” ujarnya.

Keterangan Agus mengartikan, ternyata di Tulungagung tidak hanya PT LSL saja yang tidak memiliki izin usaha tambak udang, namun juga perusahaan yang mengelola tambak udang di areal Pantai Bayem. Keduanya masih memasuki wilayah Tulungagung. Hanya bedanya, tambak yang dikelola PT LSL berada dikawasan Perum Perhutani KPH Blitar, sedangkan tambak udang di pesisir Pantai Bayem masuk ke wilayah Perum Perhutani KPH Kediri.

Meski keduanya berada di kawasan berbeda, namun pada prinsipnya menjalin kerjasama dengan perhutani memiliki konskuensi sama. Sama-sama harus mentaati peraturan yang diberlakukan negara dan Kementerian Kehutanan. Selain tidak diperbolehkan lagi memperpanjang kontrak dan harus mendapatkan izin dari BPPT terkait, perusahaan juga tidak diperbolehkan merubah bentang alam dalam penggunaan lokasinya.“Dalam pemanfaatan itu tidak boleh mengubah bentang alam dalam penggunaan lokasinya,”kata Heri Purwanto.

Namun peraturan tinggalah peraturan.Faktanya, sebagaimana temuan di lapangan,baik tambak dipesisir Pantai Molang atau Pantai Bayem, hampir semua areal tambak menjadi lahan terbuka. Nyaris tak ada lagi tegakan atau vegetasi tanaman yang berdiri. Kalaupun ada, jumlahnya hanya beberapa batang dengan jarak yang jauh.

Indikasi pelanggaran aturan bentang alam yang digariskan Perhutani juga tampak pada pengelolaan tata ruang areal tambak dengan posisi kolam yang terlalu rapat atau saling berhimpit. Pematang yang menjadi pembatas antarkolam atau disebut dengan istilah silvoviseri sesuai ketentuan harus dibuat dengan jarak kerapatan standar 5 meter. Namun faktanya, jarak antarkolam yang dibuat PT LSL dan pengusaha tambak di pesisir Pantai Bayem hanya sekitar 2-3 meter saja.
Menanggapi hal ini, pihak Perhutani KPH Blitar mengatakan, pertimbangan pasti tentang adanya toleransi pada awal pembuatan kolam yang paling tahu adalah pimpinan waktu itu. Sedangkan saat ini, sebetulnya sudah ada upaya persuasif ke arah sana. “Tapi mungkin pertimbangan-pertimbangan dari pihak pengelola bahwa udang butuh sinar matahari yang full (penuh), terpaksa memaksa kami untuk memberikan toleransi kepada mereka,” ujar Heri memperjelas.

Sementara itu pihak PT Lima Satu Lapan dan pengelola tambak di pesisir Pantai Bayem belum memberikan konfirmasi resmi terkait usaha budidaya udangyang mereka kelola. Tim Utusan sudah berupaya mengkonfirmasi melalui layanan pesan pendek (sms), namun hingga berita ini dimuat belum ada tanggapan terkait hal tersebut. (IeL)

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »