Areal Tambak Udang |
“DPRD Tulungagung masih mau mulai mendalami, DPRD Blitar tak bertindak, sementara Satpol PP Tulungagung akan mengadakan rapat dengan pihak-pihak terkait memastikan kesalahannya
Utusan Tulungagung - Tambak udang ilegal di pesisir Pantai Molang, Desa
Pucanglaban, Kecamatan Pucanglaban, Tulungagung, hingga kini terus beroprasi. Seolah
enggan menjemput bola, sampai hari ini belum ada kepastian kapan pihak-pihak
terkait akan bertindak.
Sebaliknya, hanya berbekal informasi dari media, Kabid Perundang-undangan Satpol
PP Tulungagung Eko Kenis Yulianto mengatakan segera mengadakan pertemuan dengan
beberapa pihak terkait hal itu. “Kami akan segara melakukan kordinasi dengan
pihak-pihak terkait. Jika betul tambak udang itu ilegal, secepatnya akan kami
tindak,” ujar Eko.
Belum dapat dipastikan Satpol PP punya wewenang atau tidak menghentikan
kegiatan budidaya udang tersebut. Namun yang pasti niatan Satpol PP akan
mengadakan kordinasi adalah hal yang patut diapresiasi.
Lain Satpol PP, lain pula DPRD dan BP2PM Tulungagung. Ketua DPRD
Tulungagung Supriyono mengatakan, pihaknya akan mendalami terlebih dahulu
permasalahan ini. Jika pemerintah Tulungagung punya kapasitas mengeksekusi,
DPRD akan melangkah. Mengingat lokasi yang digunakan merupakan wilayah Perhutani.
“Nanti akan kami dalami, jika pemerintah Tulungagung berkaitan, kami akan
memanggil pihak-pihak terkait,” ujarnya.
Berbeda dengan Supriyono, Kepala Badan Pelayanan Perizinan dan penanaman
Modal BP2PM Santoso melalui Kasi Informasi Agung menegaskan, sejak lima
tahun terakhir tidak tercatat ada izin
usaha tambak udang di wilayah Tulungagung, termasuk di Pucanglaban. “Saya cari
didata kami tidak ditemukan ada izin usaha tambak udang,” kata Agung.
Tambak udang Pucanglaban merupakan salah satu usaha di bawah pengelolaan PT
Lima Satu Lapan (LSL) sejak 2006 silam. Tambak dengan luasan lebih dari
37 hektare itu berlokasi di
sepanjang pesisir Pantai Molang, Pucanglaban, Tulungagung, berbatasan dengan Desa Plandirejo, Kecamatan
Bakung, Kabupaten Blitar.
Dulu, kawasan ini dikabarkan sebagai kawasan hutan
lindung dengan vegetasi tanaman cukup lebat. Sementara saat ini, lahan hutan sudah
berubah menjadi hutan produksi dan beralih fungsi menjadi tambak udang yang
dikelola oleh PT LSL.
Sebagaimana pemberitaan media Utusan
Rakyat pada edisi sebelumnya, pengelolaan hutan menjadi tambak udang
tersebut terganjal
peraturan Menteri Kehutanan yang melarang perpanjangan kontrak. Sementara,
kontrak yang dilakukan PT LSL telah habis sejak 2012 lalu. Mengetahui kontraknya telah habis, kegiatan budidaya udang bukannya
dihentikan, melainkan tetap berlangsung seperti biasanya.
Tidak hanya izin usaha yang habis, pelanggaran diduga merambah ke izin
mendirikan bangunan (IMB). Diketahui dalam mengelola usaha tambak, PT LSL telah
membangun beberapa rumah sebagai kantor dan tempat tinggal pekerja. Diduga ini
menyalahi tujuan utama pelestarian hutan.
Lebih sayang lagi, mengetahui adanya pelanggaran oleh PT LSL, pemerintah
seolah melakukan pembiaran dan lepas tangan. Maksud pemerintah dalam hal ini,
diantaranya adalah DPRD Kabupaten Blitar, DPRD Tulungagung, BP2PM
Tulungagung, Badan Pelayanan Perizinan Blitar, dan Satpol PP selaku penegak perda.
Sementara pihak Perhutani sampai saat ini tak
melakukan penuntutan dan tetap membiarkan kegiatan budidaya udang yang
seharusnya telah berhenti sejak tahun 2012 lalu. Sedangkan pihak pengelola tambak hingga
berita ini dimuat belum
berkenan memberikan konfirmasi resmi
terkait usaha budidaya udang yang mereka kelola.mereka seolah menghindar
dari media.
Sebagaimana yang diberitakan oleh harian nasional tahun 2014
silam, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blitar sempat mengungkit
masalah legalitas PT LSL dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) diareal
tambak. Saat itu dewan menuding pengubahan kawasan hutan lindung bisa
berpengaruh langsung pada masyarakat setempat. Setidaknya, alih fungsi tersebut
menabrak prinsip program Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH). Namun selepas
sidak dilakukan tidak diketahui pasti bagaimana keberlanjutan masalah ini.
"Pengalihan fungsi hutan lindung tersebut berlangsung sejak
tahun 2006. Selain itu, kontraknya pun habis di tahun 2012. Kami pastikan ini
ilegal, karena hingga kini adminstrasinya masih dalam proses," ujar Ketua
Komisi II DPRD Kabupaten Blitar M Ansori saat itu. (IeL)