Berita Utusan

Advertise

Agama, Negara, dan Politik.

Diposting oleh On Mei 13, 2017

Oleh : ILham Nadhirin, Dosen STF Al-Farabi Kepanjen-Malang

Di Indonesia, modernisasi politik nampaknya mulai melangkah ke arah sekularisasi agama dan negara. Jika benar terjadi, tentu akan menjadi sejarah baru bagi negara Ini.

Diakui atau tidak, sejak awal kemerdekaan Negara Indonesia, dinamika masyarakat telah menunjukan adanya konspirasi agama dan negara dalam berpolitik. Bahkan hingga kini, konspirasi agama dan negara dalam peta perpolitikan Indonesia terlihat semakin kental.

Belakangan fenomena ini menjadi perbincangan hangat di kalangan elit negara, karena munculnya tokoh non muslim mencalonkan diri sebagai calon gubernur (cagub).

Kemunculan tokoh non muslim sebagai cagub ini menjadikan sebagian umat islam gentol dalam memainkan percaturan politik. Terlebih setelah tokoh itu terjerat kasus penodaan agama Islam, sebagian besar umat islam setempat semakin solid merapatkan barisan. Akibatnya suasana tegang tak terelakan, bahkan sampai terasa keseluruh pelosok negeri.

Tingginya tensi politik dalam kasus di atas menunjukan, agaknya sampai kapanpun masyarakat Indonesia tak akan mampu memisahkan kepentingan agama dalam bernegara. Meskipun negara telah menetapkan aturan politik sedemikian rupa.

Mengapa demikian? Ketidak mampuan ini dapat dianalisa melalui history berdirinya Negara Indonesia. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, agama telah ada dan mengakar di hati masyarakat sebagai doktrin kehidupan.

Mengakarnya doktrin ini membuat sebagian besar masyarakat lebih memilih mendahulukan ajaran agama dari pada aturan negara jika ada yg bertentangan dengan doktrin yang ia yakini. Tentu ini hal yang wajar, sebab negara ada, setelah ada agama.

Mengetahui hal ini, idealnya semua aturan negara seyogyanya tidak sampai bertentangan dengan doktrin agama, agar kenyamanan penganut agama dalam menjalankan keyakinanya bisa terpenuhi. Jika terdapat doktrin agama yang berbeda dengan aturan negara, maka sebagaimana ucapan bung Karno, hendaknya mereka berjuang demi mendapatkan haknya dengan cara berpolitik.

Hanya pertanyaanya, sahkah seorang penganut agama berpolitik demi keyakinanya dalam bernegara? Tidakkah ini tergolong politisasi agama?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui sebelumnya, ada dua haluan besar dalam praktik berpolitik. Politik praktis dan politik kebangsaan.

Politik praktis merupakan bentuk kegiatan politik yang berhubungan langsung dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Sedangkan politik kebangsaan, adalah bentuk perjuangan yang dilakukan kelompok atau individu demi tercapainya cita-cita bangsa.

Demikian pula dengan penganut agama yang berpolitik membawa kepentingan agamanya. Jika murni betujuan demi tercapainya cita-cita bangsa, maka hal itu sah. Namun  jika ia berpolitik hanya untuk mendapatkan kekuasaan politik, maka praktik ini tergolong politik praktis. Terlebih ketika membawa-bawa agama, maka politisasi agama namanya.

Inilah yang perlu diketahui, perlu kiranya kita memilah dan memilih termasuk politik manakah gerakan kita sebagai penganut agama. Jangan sampai gerakan yang kita bangun selama ini ternyata hanya mementingkan jabatan saja dan ditunggangi golongan yang mementingkan politik praktis. Jika ini yang terjadi, tentu agama tidak berarti apa-apa bagi negara. Namun jika gerakan kita murni untuk memasukkan nilai luhur agama demi tercapainya cita-cita bangsa, maka inilah yang diharapkan bangsa, dan dapat dipastikan, hubungan antara negara, agama, dan politik memang tidak dapat dipisahkan.

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »