Oleh : ILham Nadhirin, Dosen STF
Al-Farabi Kepanjen-Malang
Di Indonesia, modernisasi politik
nampaknya mulai melangkah ke arah sekularisasi agama dan negara. Jika benar
terjadi, tentu akan menjadi sejarah baru bagi negara Ini.
Diakui atau tidak, sejak awal
kemerdekaan Negara Indonesia, dinamika masyarakat telah menunjukan adanya
konspirasi agama dan negara dalam berpolitik. Bahkan hingga kini, konspirasi
agama dan negara dalam peta perpolitikan Indonesia terlihat semakin kental.
Belakangan fenomena ini menjadi
perbincangan hangat di kalangan elit negara, karena munculnya tokoh non muslim
mencalonkan diri sebagai calon gubernur (cagub).
Kemunculan tokoh non muslim
sebagai cagub ini menjadikan sebagian umat islam gentol dalam memainkan
percaturan politik. Terlebih setelah tokoh itu terjerat kasus penodaan agama
Islam, sebagian besar umat islam setempat semakin solid merapatkan barisan.
Akibatnya suasana tegang tak terelakan, bahkan sampai terasa keseluruh pelosok
negeri.
Tingginya tensi politik dalam
kasus di atas menunjukan, agaknya sampai kapanpun masyarakat Indonesia tak akan
mampu memisahkan kepentingan agama dalam bernegara. Meskipun negara telah
menetapkan aturan politik sedemikian rupa.
Mengapa demikian? Ketidak mampuan
ini dapat dianalisa melalui history berdirinya Negara Indonesia. Sebagaimana
tercatat dalam sejarah, jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, agama telah ada
dan mengakar di hati masyarakat sebagai doktrin kehidupan.
Mengakarnya doktrin ini membuat
sebagian besar masyarakat lebih memilih mendahulukan ajaran agama dari pada
aturan negara jika ada yg bertentangan dengan doktrin yang ia yakini. Tentu ini
hal yang wajar, sebab negara ada, setelah ada agama.
Mengetahui hal ini, idealnya semua
aturan negara seyogyanya tidak sampai bertentangan dengan doktrin agama, agar
kenyamanan penganut agama dalam menjalankan keyakinanya bisa terpenuhi. Jika
terdapat doktrin agama yang berbeda dengan aturan negara, maka sebagaimana
ucapan bung Karno, hendaknya mereka berjuang demi mendapatkan haknya dengan
cara berpolitik.
Hanya pertanyaanya, sahkah seorang
penganut agama berpolitik demi keyakinanya dalam bernegara? Tidakkah ini
tergolong politisasi agama?
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
perlu diketahui sebelumnya, ada dua haluan besar dalam praktik berpolitik.
Politik praktis dan politik kebangsaan.
Politik praktis merupakan bentuk
kegiatan politik yang berhubungan langsung dengan perjuangan merebut dan
mempertahankan kekuasaan politik. Sedangkan politik kebangsaan, adalah bentuk
perjuangan yang dilakukan kelompok atau individu demi tercapainya cita-cita
bangsa.
Demikian pula dengan penganut
agama yang berpolitik membawa kepentingan agamanya. Jika murni betujuan demi
tercapainya cita-cita bangsa, maka hal itu sah. Namun jika ia berpolitik hanya untuk mendapatkan
kekuasaan politik, maka praktik ini tergolong politik praktis. Terlebih ketika
membawa-bawa agama, maka politisasi agama namanya.
Inilah yang perlu diketahui, perlu kiranya kita memilah dan memilih termasuk politik manakah gerakan kita sebagai penganut agama. Jangan sampai gerakan yang kita bangun selama ini ternyata hanya mementingkan jabatan saja dan ditunggangi golongan yang mementingkan politik praktis. Jika ini yang terjadi, tentu agama tidak berarti apa-apa bagi negara. Namun jika gerakan kita murni untuk memasukkan nilai luhur agama demi tercapainya cita-cita bangsa, maka inilah yang diharapkan bangsa, dan dapat dipastikan, hubungan antara negara, agama, dan politik memang tidak dapat dipisahkan.
Inilah yang perlu diketahui, perlu kiranya kita memilah dan memilih termasuk politik manakah gerakan kita sebagai penganut agama. Jangan sampai gerakan yang kita bangun selama ini ternyata hanya mementingkan jabatan saja dan ditunggangi golongan yang mementingkan politik praktis. Jika ini yang terjadi, tentu agama tidak berarti apa-apa bagi negara. Namun jika gerakan kita murni untuk memasukkan nilai luhur agama demi tercapainya cita-cita bangsa, maka inilah yang diharapkan bangsa, dan dapat dipastikan, hubungan antara negara, agama, dan politik memang tidak dapat dipisahkan.