Surabaya, Utusan Rakyat – Dianggap membiarkan
kecacatan lembaga di bawahnya, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
(Bawaslu RI) menuai kritik dari masyarakat yang menamakan kelompoknya sebagai
Koalisi Rakyat Tiri.
Koalisi Rakyat Tiri merupakan salah satu kelompok
pemerhati pemilu yang dikoordinatori oleh Darno warga Madiun. Kritikan
dilakukan dengan cara melayangkan surat terbuka pada Bawaslu RI.
Secara ringkas, isi surat tersebut menerangkan tuntutan
mereka pada Bawaslu RI agar menonaktifkan 3 anggota Bawaslu Jawa Timur yang
terjerat kasus hukum dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi.
Selain itu isi surat juga menjelaskan, kasus tersebut sebenarnya
sudah bergulir sejak 2015 lalu dan masih proses hingga saat ini. Namun sampai
surat itu dilayangkan, Bawaslu RI tak kunjung menonaktifkan ke 3 anggota
tersebut.
Hingga saat ini media Utusan-Rakyat
masih belum mendapatkan konfirmasi dari pihak Bawaslu. Berikut uraian surat
terbuka yang dilayangkan oleh Koalisi Rakyat Tiri.
Kepada
Yang Terhormat:
Ketua
Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia dan Anggota
Di
Jakarta
Salam…
Bawaslu Mendengar.
Dengan
hormat,
Kami
sampaikan surat terbuka ini, dengan tujuan untuk menyelamatkan pesta demokrasi dan menjaga kepercayaan publik
terhadap institusi Badan Pengawas
Pemilu Provinsi Jawa Timur dan Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota
se Jawa Timur.
Tahapan
suksesi kepemimpinan di Jawa Timur tinggal menghitung hari dan hampir bersamaan pula dengan pelaksanaan
tahapan Pemilu Legislativ dan Pemilu
Presiden. Sehingga, jika mengacu pada regulasi saat ini, rekrutmen Panwaslu Kabupaten/Kota harus segera
dilaksanakan dalam waktu dekat.
Namun
ada persoalan krusial yang mengancam pesta demokrasi tersebut, yaitu status hukum Komisioner Badan
Pengawas Pemilu Provinsi Jawa Timur (Bawaslu-Jatim)
yang diberi amanah oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk
melakukan seleksi Panwaslu di 38 Kabupaten/Kota.
Se Jawa Timur.
Sebagaimana
telah kita ketahui bersama bahwa di tahun 2015, beberapa oknum yang berada dalam institusi
Bawaslu-Jatim sedang diproses dugaan korupsi
dana hibah Pilgub Jatim 2013. Selanjutnya, penyidik Polda Jatim menetapkan 10 orang sebagai tersangka
yang diantaranya adalah 3 (tiga) Komisioner
Bawaslu-Jatim.
Hal
tersebut dilakukan penyidik, setelah memeriksa
87 saksi (termasuk anggota Panwaslu Kabupaten/Kota se-Jatim) dan mengamankan barang bukti serta
berdasarkan audit BPK, ditemukan kerugian
negara sekitar Rp 5,6 milliar.
Walaupun
dalam proses persidangan ke
tiganya divonis bebas, namun Kejaksaan Negeri Surabaya saat ini masih melakukan upaya hukum kasasi atas vonis
bebas perkara tersebut, karena dianggap
telah mencederai rasa keadilan. Sehingga,
jika ke tiga Komisioner Bawaslu-Jatim tidak segera di non aktifkan dan tetap diberi kewenangan untuk
melakukan perekrutan Panwaslu Kabupaten/Kota,
bagi kami hal tersebut sangat menyimpang dari asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang
Penyelenggara Pemilu.
Pada
waktu lalu, dorongan
untuk segera dilakukan penggantian Komisioner Bawaslu Jatim sudah muncul sejak tahun 2015,
diantaranya oleh Pimpinan Wilayah Gerakan
Pemuda (PW GP) Ansor Jawa Timur, melalui Khoirul Huda selaku Wakil Ketua bidang Politik, Hukum dan
HAM, yang mendesak Bawaslu Pusat untuk
segera menonaktifkan tiga komisioner Bawaslu Jatim menyusul status mereka saat itu sebagai tersangka dan
secara moral sudah dianggap cacat.
Bahkan
dari institusi Kepolisian, guna memperlancar proses penyidikan, Polda Jatim mengirimkan surat kepada Bawaslu
RI agar segera melakukan penggantian
terhadap tiga komisioner Bawaslu Jatim yang bersatus tersangka dugaan korupsi dana hibah
Pilgub Jatim 2013.2 namun hal tersebut tidak
kunjung mendapat tanggapan oleh Komisioner Bawaslu RI, sehingga permasalahan
etis yang menjerat tiga komisioner Bawaslu Jatim berlanjut jelang perhelatan pesta demokrasi pada
2018 dan 2019.
Memang
kita harus menghormati putusan pengadilan tipikor, dan upaya kasasi yang dilakukan pihak Kejaksaan
Negeri Surabaya serta menjunjung tinggi
asas praduga tidak bersalah. Namun perlu kita ketahui bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia secara
yuridis telah dikualifikasikan sebagai kejahatan
luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga seyogiyanya negara, rakyat, dan
budaya masyarakat Indonesia bersikap zerotorelance terhadap kejahatan tersebut.
Terlebih
lagi jika orang yang diduga melakukan tindak pidana
tersebut adalah seorang pejabat publik. Pada suatu kesempatan, Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
Amzulian Rifai pernah mengatakan bahwa: “penyelenggara pemilu
yang berintegritas sangat penting
dilakukan, agar bisa
membangun kepercayaan publik”.
Untuk
itu, melalui surat
terbuka inilah kami berharap terhadap Komisioner Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia yang
baru dilantik oleh Presiden Republik
Indonesia pada bulan lalu, mengabil kewenangan diskresi guna menjaga kehormatan institusi Bawaslu
Jawa Timur, sehingga dapat menjaga kepercayaan
masyarakat Jawa Timur dan menyelamatkan pesta demokrasi di Provinsi Jawa Timur.
Salam…
Bawaslu Mendengar…!!!
Madiun 5 Mei
2017
TTD:
Koodinator Koalisi
Rakyat Tiri