I.
PENDAHULUAN
Pada tanggal 28
April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar paripurna dengan sejumlah
agenda. Salah satu agenda adalah pembahasan pengajuan hak angket terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI.
Angket
sebagaimana diatur dalam Pasal 79 Ayat (3)UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”. Angket
yang diusulkan dalam paripurna tersebut ditujukan untuk meminta KPK membuka
rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, tersangka dan saksi dalam kasus
e-ktp.
Dalam proses
paripurna tersebut, saudara Fahri Hamzah (terlapor) sebagai pimpinan DPR
melakukan sabotase terhadap mekanisme pengambilan keputusan dalam paripurna.
Sehingga dengan sepihak mengetuk palu persetujuan hak angket yang kemudian
diwarnai dengan interupsi dan aksi walkout sejumlah anggota DPR.
Atas tindakan
tersebut, terlapor diduga dengan secara tidak lansung merintangi proses hukum
terhadap kasus e-ktp yang sedang berjalan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
II.
URAIAN KRONOLOGIS
Bahwa pada
setidak-tidaknya pada Bulan Juli 2016 Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan
penetapan tersangka terhadap kasus korupsi pengadaan e-KTP;
Bahwa pada
tanggal 23 Maret 2017, saksi Miryam S Hariani mencabut BAP (berkas acara
pemeriksaan)terhadap dirinya di hadapan majelis hakim. Alasan pencabutan
tersebut menurut saksi disebabkan karena dirinya merasa ditekan dan
diintimidasi dalam pemeriksaan oleh penyidik KPK;
Bahwa pada
tanggal 30 Maret 2017, saudara Novel Baswedan sebagai penyidik KPK memberikan
kesaksian dan bantahan atas keterangan Miryam;
Bahwa dalam
kesaksiannya, Novel Baswedan juga menyampaikan infromasi adanya tekanan dari
sejumlah anggota DPR dan Pengacara kepada Saksi Miryam agar mencabut BAP nya.
Bahwa kedua
informasi di atas, dijadikan bahan oleh Komisi III DPR RI sebagai agenda dalam
Rapat Dengar Pendapat (RPD) bersama KPK RI yang dilakukan secara berturut-turut
pada tanggal 17 dan 18 April 2017.
Bahwa dalam
rapat tersebut, sebagian anggota Komisi III DPR RI meminta KPK untuk membukan
rekaman pemeriksaan terhadap Saksi Miryam. Hal ini kemudian ditolak oleh
Pimpinan KPK RI yang menghadiri rapat tersebut.
Bahwa sejumlah
anggota DPR RI, salah satunya terlapor Fahri Hamzah menggulirkan dan menandatangani
hak Angket yang kemudian dibahas dalam paripurna DPR RI tanggal 28 April 2017.
Bahwa saudara
terlapor memimpin rapat paripurna yang kemudian berujung pada pengambilan
keputusan secara sepihak.
III.
ANALISA HUKUM
Berdasarkan
uraian fakta kronologis di atas, Kami
sebagai pelapor akan terlebih dahulu menjelaskan dua pendekatan aturan sebelum
mengaitkannya dengan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan Pasal
234 Ayat 3 huruf h UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH
Pasal tersebut
berbunyi : Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan….… h. pengambilan keputusan.
Ketentuan Pasal
279 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Pasal
tersebut berbunyi : Pengambilan
keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk
mufakat;
Dalam hal cara
pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Bahwa dua
ketentuan diatas pada dasarnya adalah konteks hukum pengambilan keputusan di
DPR RI. Namun dengan tidak dilakukannya mekanisme hukum yang sudah diatur,
terlapor Fahri Hamzah patut diduga melakukan tindakan obstruction of justice.
Kami akan menjelaskan
analisa dugaan tindak pidana Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 jo No 20 Tahun 2001
yang berbunyi sebagai berikut : “Setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah)”.
1.
Unsur setiap orang.
Setiap orang merupakan perorangan
dan/atau koorporasi. Berdasarkan kronologis di atas menunjukkan bahwa upaya
menghalang-halangi proses penyidikan dilakukan oleh sejumlah pihak pengusung
hak angket. Namun saudara terlapor patut diduga sebagai intellectual dadder.
Sebab terlapor selain pengusung hak angket, juga secara sepihak melakukan
persetujuan hak angket diluar prosedur.
2.
Unsur dengan sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan.
Yang dimaksud dengan upaya mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan
adalah melakukan serangkaian tindakan/ perbuatan dengan tujuan agar penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang sedang berlansung,
terhalang untuk dilaksanakan. Dan apakah tujuan tersebut dapat tercapai atau
tidak, bukan merupakan syarat. 1. Pasal ini tidak
mensyarakatkan upaya menghalang-halangi tersebut tercapai terlebih dahulu.
Karena perbuatan dianggap selesai apabila ada intensi yang jelas untuk
melakukan upaya menghalang-halangi. Maka
setiap pelaporan atas pimpinan KPK yang patut diduga didasari niat jahat dapat
dikualifikasikan sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum/ obstruction of
justice. Upaya-upaya terlapor tersebut dapat
dilihat dari pengajuan hak angket untuk membuka rekaman yang berpotensi
mengganggu proses penyelidikan dan penyidikan, hingga pada persetujuan hak
angket secara melawan hukum.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian kronologis dan berdasarkan analisa hukum di atas, maka diduga kuat sudah
terjadi upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan
terlapor, Fahri Hamzah.
Upaya tersebut
dilakukan oleh terlapor secara melawan hukum dan yang bersangkutan juga
memiliki kedekatan dengan Saudara Seyta Novanto, saksi dan terperiksa KPK.
Perbuatan ini
patut diduga sudah memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam pasal 21
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
V.
REKOMENDASI
Berdasarkan
uraian di atas, Kami dari Koalisi Masyarakat Menolak Hak Angket KPK meminta
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan serangkaian upaya hukum
untuk melakukan Penyelidikan dan penyidikan atas dugaan peristiwa pidana pasal
21 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo No 20 Tahun 2001.
Jakarta,
2 Mei 2017
TTD
Koalisi
Masyarakat Sipil Menolak Hak Angket Kpk
1 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika Jakarta. Hlm 159